Example of manuscript & Application of Theory PEOL in Palliative care
APLIKASI TEORI PEACEFUL END OF LIFE DALAM KONTEKS PERAWATAN PALIATIF
STUDI LITERATUR
Minanton
Ns. Minanton S.Kep.: Mahasiswa
Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
email : minanton.pasca17@mail.umy.ac.id
Abstract
Advances in health technology assist
patients with life-threatening illness to survive longer, but longer life does
not mean to live better. The terminal patient will experience a variety of
physical problems as well as psychosocial symptoms. Palliative care is a
suitable treatment with life-threatening disease conditions. One of the nursing
theories that can be used is the theory of peaceful end of life developed by
Ruland and Moore. The purpose of this theory is not only to provide good care
using modern tools, but to focus more on care that prioritises patient comfort
and maximises family involvement in patient care. So at the end of life,
patients can enhance the quality of life and face death with a sense of peace
(khusnul khotimah). This article aims to describe theory
peaceful end of life,
describe life-threatening
illness in palliative care, and apply theory peaceful end of life in
palliative care setting.
Key word: Theory
of peaceful end of life, palliative care and life-threatening illness
Abstrak
Kemajuan
teknologi kesehatan membantu pasien dengan penyakit terminal mampu bertahan
hidup lebih lama, tetapi hidup lebih lama tidak berarti hidup lebih baik. Pasien terminal akan mengalami
berbagai masalah fisik maupun gejala psikososial. Perawatan paliatif merupakan
perawatan yang sesuai dengan kondisi penyakit terminal. Salah satu teori
keperawatan yang bisa digunakan yaitu teori peaceful
end of life yang dikembangkan oleh Ruland dan Moore. Tujuan teori ini yaitu
bukan hanya memberikan perawatan yang baik dengan menggunakan alat-alat modern,
tetapi lebih berfokus kepada perawatan yang mengutamakan kenyamanan pasien
serta memaksimalkan keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien. Sehingga
diakhir kehidupannya, pasien dapat meningkatkan kualitas hidup dan menghadapi
kematian dengan perasaan damai(khusnul khotimah). Artikel ini bertujuan untuk
mendeskripsikan konsep teori peaceful end
of life, mendeskripsikan kondisi pasien penyakit terminal dan
mengaplikasikan teori peaceful end of
life dalam konteks perawatan paliatif.
Kata kunci : teori peaceful end of life, palliative care, penyakit terminal
Pendahuluan
Kemajuan alat-alat medis membuat
pasien dengan penyakit terminal mampu bertahan hidup lebih lama, namun
terkadang menimbulkan penderitaan dari pada kesembuhan karena hidup
lebih lama tidak berarti hidup lebih baik.
Pasien terminal akan mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak
nafas, mual/muntah, anoreksia (penurunan berat badan), konstipasi dan kelelahan
(gangguan aktivitas) serta gejala psikososial
seperti distress emosional, gelisah, dan depresi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Perawatan yang
sangat sesuai dengan kondisi penyakit terminal adalah perawatan paliatif(Arianti
et al, 2016; Deli & Ana 2014; Kelley & Marrison, 2015).
Palliative
care atau
perawatan paliatif merupakan tipe perawatan yang tidak hanya menekankan pada
gejala fisik saja, tetapi perawatan ini juga fokus terhadap aspek-aspek
emosional, psikososial, dan ekonomis serta spiritual untuk memenuhi kebutuhan
akan perbaikan kualitas hidup pasien. Fokus perawatan akhir hidup terutama
pada kenyamanan saat
sebuah penyembuhan tidak lagi layak dilakukan (Deli
& Ana, 2014).
Di indonesia, perawatan paliatif
masih menjadi issues dalam pelayanan kesehatan mengingat layanan paliatif baru
dalam tahap pengembangan selain itu pemahaman tentang perawatan paliatif yang
masih terbatas di tenaga kesehatan(Rochmawati, 2016 dalam Arianti, 2016).
Tenaga kesehatan di rumah sakit masih berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik
yang terganggu seperti nyeri, sesak, nutrisi, dan kelemahan, dan belum mampu
menemukan masalah psikososial dan spiritual pada pasien dan keluarga.
Peran perawat dalam perawatan
paliatif atau end of life care adalah mampu memenage gejala dan relief of suffering dari penyakit
sehingga mampu menciptakan hidup pasien yang damai dan Khusnul khotimah diakhir
kehidupan atau peaceful end of life (PEOL), hal ini sesuai dengan konsep
yang dikembangkan oleh Ruland & Moore (1998) yaitu teori Peaceful End Of
Life yang dikembangkan
dari standar perawatan dengan tujuan dapat hidup tenang sebelum kehidupan
berakhir. Konsep utama dari tori peaceful
end of life, meliputi : bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman, merasa
dihargai dan dihormati, merasa damai, dan merasakan kedekatan dengan keluarga
atau orang lain yang bermakna serta peduli dalam kehidupan pasien. Tujuan teori
Peacefull End of Life bukan hanya memberikan perawatan yang baik dengan
menggunakan alat-alat yang canggih, tetapi lebih berfokus kepada perawatan yang
mengutamakan kenyamanan pasien serta memaksimalkan keterlibatan keluarga dalam
perawatan pasien. Sehingga diakhir kehidupannya, pasien dapat meningkatkan
kualitas hidup dan menghadapi kematian dengan perasaan damai atau khusnul
khotimah (Alligood, 2014).
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis ingin menggambarkan aplikasi teori peaceful end of life didalam perawatan
paliatif dan end of life sebagai
salah satu upaya untuk memahami dan meningkatkan pengalaman terbaik bagi pasien, keluarga dan
orang lain yang
bermakna dalam kehidupan pasien selama
dalam perawatan paliatif.
Konsep
Utama Teori Peaceful End Of Life
Peaceful
end of life theory merupakan
salah satu teori keperawatan yang dikembangkan oleh Cornelia M. Ruland dan
Shirley M. Moore pada tahun 1998 dan termasuk kedalam kategori middle range
theory.
Konsep
utama teori ini, (Alligood, 2014) yaitu :
a.
Tidak
mengalami nyeri
Bebas dari penderitaaan ataupun
distress adalah bagian utama dari banyaknya pengalaman EOL pasien. Nyeri
dianggap sebagai pegalaman sensoris atau emosi yang tidak menyenangkan
dikaitkan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial (Lenz et al, 1995;
Pain term, 1979).
b.
Pengalaman
rasa nyaman
Rasa nyaman didefinisikan secara
inklusif, menggunakan Kolcaba dan Kolcaba’s work (1991) sebagai bebas dari rasa
tidak nyaman, kondisi sentosa dan damai/puas dan apapun yang membuat hidup
lebih mudah dan menyenangkan (Ruland & Moore, 1998).
c.
Merasa
bermartabat dan dihargai
Setiap pasien penyakit terminal
dihargai dan dinilai sebagai seorang manusia (Ruland & Moore, 1998). Konsep
ini menyatukan pendapat tentang nilai pribadi, yang diekspresikan oleh prinsip
etik (otonomi) atau menghargai orang lain yang menyatakan bahwa individu
seharusnya diperlakukan sebagai agen otonomi dan orang-orang yang otonominya
berkurang mempunyai hak atas perlindungan (United State, 1978). Munn, et al
(2008) mengatakan dalam penelitiannya bahwa merasa dihargai (contoh: perhatian
perawat terhadap inkontinen) merupakan hal yang penting dalam EOL.
d.
Menjadi
damai
Damai adalah perasaan tenang,
harmonis dan puas, bebas dari kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran dan
ketakutan (Ruland & Moore, 1998). Keadaan penuh damai meliputi dimensi
fisik, psikologis dan spiritual.
e.
Kedekatan
dengan orang-orang terdekat
Kedekatan adaah perasaan terhubung
dengan manusia-manusia yang peduli (Ruland & Moore, 1998). Hal ini meliputi
kedekatan fisik atau emosi yang diekspresikan melalui kehangatan dan hubungan
yang dekat/intim. Munn etal, 2008 dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada
peran yang signifikan dalam hubungan kedekatan perawat-pasien saat memberikan
asuhan EOL.
Sumber Teori
Teori ini bersumber dari berbagai
kerangka teori terutama berbasis pada model Donabedian baik
struktur, proses dan hasil, dan sebagian dibangun dari teori general sistem dan Teori kedua
yang menjadi sandaran adalah teori pilihan (brandt) dimana teori ini telah
digunakan oleh filosofi untuk menjelaskan dan mendefinisikan kualitas hidup (Alligood,
2014).
Tindakan Keperawatan
Ruland & Moore (1998) mengidentifikasi
enam pernyataan hubungan eksplisit dalam teori mereka untuk menciptakan hidup
damai di akhir kehidupan atau kematian khusnul khotimah yaitu :
a.
Memantau
dan memberikan obat penghilang nyeri dan intervensi farmakoterapi –
nonfarmakoterapi untuk memberikan pengalaman hidup tanpa nyeri.
b.
Mencegah,
memantau dan memberi kenyamanan fisik, membantu istirahat, relaksasi dan
mencegah komplikasi yang berkontribusi pada pengalaman merasa nyaman.
c.
Mengikutsertakan
pasien dan orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan terkait pelayanan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, memberlakukan pasien dengan martabat,
empati dan hormat, dan bersikap atentif terhadap kebutuhan pasien, harapan
untuk membuat pasien merasa bermartabat dan dihormati.
d.
Mendukung
emosi, memantau dan memenuhi kebutuhan pasien akan obat-obatan anti cemas,
memenuhi keinginan percaya untuk membuat pasien merasa damai.
e.
Memfasilitasi
partisipasi orang-orang terdekat dalam pelayanan keperawatan pasien, menerima
rasa berduka keluarga, kekhawatiran, pertanyaan-pertanyaan dan memberi
kesempatan pada keluarga untuk mengalami kedekatan pada orang yang dirawat.
f.
Kesemua
lima point diatas dapat berkontribusi terhadap akhir kehidupan yang penuh
kedamaian.
Aplikasi teori
Peaceful end of life theory sering digunakan dalam lingkup
perawatan paliatif dan masalah lain yang mengutamakan kedekatan keluarga serta
melibatkan orang yang bermakna dalam perawatan pasien sehingga dapat mengurangi
gejala dan meningkatkan kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan orang lain.
Proses keperawatan paliatif bukan bertujuan meningkatkan kesembuhan tetapi
lebih ditekankan untuk tujuan membebaskan pasien dari rasa nyeri, memberikan
perasaan nyaman, dihargai dan dihormati, damai, dan merasa dekat dengan
sesorang yang bermakna dalam kehidupannya (Alligood, 2014). Teori ini juga
dapat diterapkan pada pasien kuratif yang masih berada pada stadium awal sampai
pada pasien yang penyakitnya sudah tidak responsif terhadap pengobatan. Pasien
diberikan perawatan secara komprehensif dengan tujuan meningkatkan kualitas
hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaannya, memberikan dukungan
bio-psiko-sosio dan spiritual mulai dari menetapkan diagnosa sampai
mengantarkan pasien pada kematian yang damai serta memberi dukungan terhadap
keluarga yang sedang dalam keadaan berduka (Alligood, 2014).
Pembahasan
Ketika pasien didiagnosis penyakit terminal
dapat menunjukkan banyak emosi dan reaksi seperti kesedihan, ketidakberdayaan,
kecemasan, putus
asa, ketakutan dan bahkan kesusahan
serta tidak mengakui kenyataan diagnosis. Perawatan
paliatif disesuaikan dan berdasarkan pada kebutuhan fisik, mental dan spiritual
individu pasien, karena setiap pasien berbeda dari yang lain (Lawton & Caroll
2005). Perawat
harus mengembangkan keterampilan dalam
memenage gejala fisik dan gejala emosi tersebut.
Salah satu caranya yaitu menerapkan teori peaceful
end of life.
a. Bebas
Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang
significan pada pasien penyakit kronis atau terminal, manajemen gejala fisik menjadi perhatian
utama dalam perawatan paliatif, karena
gejala-gejala fisik (khususnya nyeri) memiliki efek pada
kesejahteraan mental pasien.
Kondisi bebas nyeri dapat diupayakan oleh perawat dengan memantau dan
memberikan obat penghilang nyeri baik intervensi farmakoterapi –
nonfarmakoterapi untuk memberikan pengalaman hidup tanpa nyeri(Brant, 2017;
Ruland & Moore 1998; Kaiyare, 2014).
Tindakan farmakoterapi yang bisa
dilakukan diantaranya untuk nyeri ringan dapat berespons baik dengan pemberian
asetaminofen, untuk nyeri tulang atau otot, obat antiinflamasi nonsteroid
seperti ibuprofen sering berguna, untuk nyeri neuropatik (terbakar, sensasi memerah,
elektris) sering diobati dengan antikonvulsan. Penggunaan opioid sering dipakai
untuk nyeri sedang atau berat seperti morfin, hidromorfin, atau fentanil.
Sedangkan intervensi nonfarmakoterapi yang bisa dilakukan seperti pijatan, hipnosis,
akupressur, akupuntur, relaksasi, distraksi, dan terapi musik. Konsep
manajemen gejala yang baik menjadi
elemen kunci dalam mempromosikan kesejahteraan mental yang positif(Campbell, 2013; Rayner et al,
2010).
b. Merasa
Nyaman
Pasien
terminal akan merasakan gejala fisik maupun psikologis, di mana hal tersebut
dapat berimplikasi terhadap ketidaknyaman pasien. Dispnea seringkali dirasakan
sebagai kondisi kronik yang memberat dalam proses kematian yang mampu
menurunkan kualitas hidup, keadaan psikologis, dan fungsi sosial pasien. Oleh
karena itu, dispnea merupakan salah satu target intervensi utama dalam
tatalaksana paliatif. Intervensi yang dikemukkan oleh Ruland & Moore pada
konsep kedua dari teori peaceful end of
life yaitu mencegah, memantau dan memberi kenyamanan fisik, membantu
istirahat, relaksasi dan mencegah komplikasi yang berkontribusi pada pengalaman
merasa nyaman(Ambarwati & Putranto 2016; Ruland & Moore 1998).
Tindakan
untuk mengurangi sesak napas berdasarkan kondisi yang mendasarinya, Tindakan
nonfarmakologi yaitu pemberian posisi
yang optimal, menyeimbangkan istrahat dengan aktivitas, menyediakan
sirkulasi udara yang baik, suhu udara sejuk yang dapat ditolerir oleh pasien,
meminimalisir stres dengan mendorong keluarga untuk menghindari perselisihan
dengan pasien, meminimalisasi pergerakan dengan menyediakan toilet di sisi
tempat tidur dan menggunakan kursi roda untuk pergerakan; hindari pajanan
panas, drainase postural, berikan pijat dan berikan kipas di kamar pasien sedangkan
tindakan farmakologi yaitu Pemberian
Opioid (Dispnea ringan : Hidrokodon 5 mg tiap 4 jam atau Asetaminofen-kodein
(325-30 mg) 1 tablet tiap 4 jam, untuk Dispnea berat : Morfin 5 mg; titrasi
dosis tiap 4 jam atau Oksikodon, 5 mg; titrasi dosis tiap 4 jam atau
Hidromorfon, 0-2 mg; titrasi dosis tiap 4 jam, dan benzodiazepine untuk mengurangi komponen ansietas dan dalam kasus gagal jantung mengurangi
dispnea dengan pemberian inotropik atau diuretik(Ambarwati & Putranto,
2016; Campbell, 2013).
c.
Merasa dihargai dan
bermartabat
Konsep
ke tiga dari teori Ruland & Moore adalah di hargai dan diperlakukan dengan
martabat hal ini bisa diperoleh jika perawat mengikutsertakan pasien dan orang
terdekat dalam proses pengambilan keputusan terkait pelayanan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, memperlakukan pasien dengan martabat, empati dan
hormat, dan bersikap atentif terhadap kebutuhan pasien, harapan untuk membuat
pasien merasa bermartabat dan dihormati. Pada pasien terminal seringkali
ditemukan adanya permintaan “do not
resusitation” hal ini perlu disikapi dengan hati-hati. Dalam Islam konsep
"jangan resusitasi"
(DNR) untuk pasien yang sakit parah dapat
diterima secara luas oleh
ulama dan masyarakat muslim berdasarkan fakta bahwa manfaat resusitasi
dalam kasus seperti itu sedikit manfaatnya sementara Kerugiannya cukup besar (Albar
& Pasha, 2017).
Dalam
masyarakat Islam, euthanasia atau
bunuh diri yang
dibantu itu dilarang tapi
keinginan untuk tidak memiliki proses kematian
yang berkepanjangan secara artifisial dihadapkan pada prognosis
tanpa harapan, harus dihormati. Perspektif Islam tentang DNR tertuang dalam sebuah
hadis, Nabi
Muhammad SAW berkata: “Janganlah dari kalian
menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya. Jika memang ia
benar-benar ingin melakukannya, maka katakanlah: ‘Ya Allah hidupkan aku jika
memang hidup itu lebih baik untukku dan matikanlah aku jika memang mati itu
baik untukku’” (HR. Al-Bukhari:5671).
Dalam
penelitian Kennedy tentang “The
Importance of Patient Dignity in Care at the End of Life” menyatakan ada
beberapa ukuran untuk meningkatkan martabat pasien yaitu kontrol gejala yang
baik; meningkatkan otonomi, privasi,
dukungan sosial atau keluarga; mendengarkan dan memberikan informasi yang
tepat; melayani dengan caring di samping tidur pasien dan menunjukkan respek,
empati dan kedekatan(Kennedy, 2015).
d. Perasaan Damai
Konsep ke empat dari teori peaceful end of life yaitu memberikan
kedamaian kepada pasien. Ketidaksiapan
pasien, cemas atau depresi, dan ketakutan akan kematian merupakan faktor yang
mempengaruhi perasaan damai pasien sehingga perawat perlu memberikan dukungan emosional, memonitor dan memenuhi kebutuhan dengan pengobatan anti
cemas, memenuhi kebutuhan spritual, memenuhi keinginanan pasien,
menumbuhkan keyakinannya untuk membuat pasien merasa damai(Ruland & Moore
1998).
Ketika
manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God view-nya, kehidupan
jadi hampa. Menjauhkan diri dari Sang Pencipta, berarti mengosongkan diri dari
nilai-nilai imani(Ariadi, 2013).
Sungguh merupakan “kerugian” terbesar bagi manusia selaku makhluk berdimensi
spiritual. “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah
mendapat petunjuk” (QS 2:16).
Dukungan spiritual dari perawat merupakan hal
yang vital yang harus diberikan sedini mungkin untuk mengurangi dampak
psikologis pasien. Dalam Surat Ar-Ra’d dijelaskan bahwa untuk memiliki hati
tentram(damai) yaitu dengan mengingat Allah SWT “(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (QS 13:28).
Dalam
penelitian Herdina, 2013 tentang “Konsep Komaruddin Hidayat Tentang Terapi Ketakutan
Terhadap Kematian” mengemukakan ada
empat cara yang dikemukakan Komaruddin Hidayat untuk mengatasi ketakutan terhadap
kematian ini yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengetahui secara
spesifik mengenai kematian, mampu lepas dari kepemilikan duniawi, dan
mencari makna dalam kehidupan. Pencarian makna ini adalah memaknai
kelahiran, memaknai kepemilikan, memaknai keabadian, memaknai kematian, dan
memaknai panjang umur.
e. Merasakan
Kedekatan Dengan Keluarga Atau Orang Lain Yang Bermakna
Konsep
kelima teori ini yaitu melibatkan keluarga dalam perawatan pasien. Keluarga
merupakan sebuah istilah yang mencangkup orang lain yang berarti bagi pasien
merupakan bagian penting dalam perawatan pasien dengan keadaan menjelang
kematian.
Tindakan yang ditawarkan dari Ruland
dan Moore yaitu (1) memfasilitasi
partisipasi orang-orang terdekat dalam pelayanan keperawatan pasien; (2)
memfasilitasi rasa berduka yang positif bagi keluarga akan kekhawatiran dan
pertanyaan-pertanyaan; dan memberi kesempatan pada keluarga untuk mengalami
kedekatan pada orang yang dirawat(Ruland & Moore 1998).
Murtiwi et al, 2005 tentang “Kualitas Hidup Klien Kanker Yang Menerima Pelayanan Hospis Atau Homecare: Suatu Analisis Kuantitatif” menyatakan bahwa dukungan dan
keberadaan keluarga memegang peranan penting dan sangat diperlukan oleh
seseorang pengidap kanker dalam menjalani sisa sisa hidupnya.
Teori peaceful end of life yang dikemukakan oleh Ruland dan Moore membawa
konsep managemen penyakit terminal yang lebih baik, karena mampu mengakomodasi
tindakan managemen gejala fisik dan relief
of suffering dalam palliative care yang
pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien dan menciptakan kematian
yang damai atau khusnul khotimah. Lanaban et al, 2016 tentang “Perspectives Of Good
Death And Dying Among Patients With Cancer, Caregivers And Health Care
Providers: Qualitative Study” menyatakan bahwa good death dan dying
terjadi jika seseorang mengenal Tuhan (Maha kuasa) atau Allah SWT, ada kesiapan
untuk mati, dan rumah adalah tempat ideal untuk mati yang baik dimana ada
perasaan nyaman, serta dikelilingi oleh keluarga dan kerabat.
Dalam islam kematian
yang baik atau khusnul khotimah yaitu ketika seseorang mati dengan keyakinan,
martabat dan kedamaian akan Allah SWT, dimana pada akhir hidupnya mengingat
Allah SWT (Dhikrullah
) dan
mengucapkan “La
ilaaha illa Allah” Dalam penelitian Prawiroharjo tentang “The Practice Of Talqeen Starting, Terminating, And Hospital Policy Advocacies For Muslim Patients In Hospitals”
menyarankan agar tenaga kesehatan atau perawat untuk memfasilitasi proses dan
mengarahkan pasien muslim untuk mengingat Allah SWT denga kalimat sahadah.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
teori peaceful end of life yang
dikembangkan oleh Ruland dan Moore mampu mengakomodasi konsep managemen gejala fisik dan psikologis
yang lebih holistik pada pasien terminal di palliative
care. Dimana teori ini terdiri dari lima konsep utama bebas nyeri, merasa
nyaman, dihargai dan bermartabat, merasa damai dan merasa kedekatan dengan
keluarga dan orang-orang bermakna dan Kelima
point tersebut dapat berkontribusi terhadap akhir kehidupan yang penuh
kedamaian.
Daftar
Pustaka
Komentar
Posting Komentar