Laporan Hasil Fieldtrip sistem Neurologi (stroke) di PKU Gamping Yogyakarta

Gambaran Kasus

Bapak  W,  berusia 59 thn dibawah ke IGD  dengan kesadaran menurun sejak 15 menit yang lalu sebelumnya pasien muntah dan pusing. Pasien memiliki riwayat stroke +/- 8 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat atau control, Pada TTV: TD : 134/80 mmHg, S : 36,7, N : 56 x/m, SaO2 : 100%, GDS : 103, dari hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan pupil: isokor, GCS : E2VxM4, , Tingkat kesadaran : Coma, Auskultasi jantung: S1-2 normal dan  tidak terdapat murmur, abdomen: pristaltik normal , Di diagnosis: recurrent Stroke (ICH), Terapi yang diberikan pasien pada saat di IGD adalah inf. Nacl 20 tpm, inj. Farbion 1 amp, inj. Ondansentron, manitol 4x125 cc, Neurosambe 1x1 amp, pasien juga terpasang NGT , DC dan O2 3 Lpm.
Pemeriksaan Diagnostik:
  1.  CT-Scan : ICH di daerah Ganglia Basalis Dextra 
  2. Radiologi : kesan Jantung dan pulmonal batas normal 
  3.  EKG : Normal
Hasil pengkajian yang dilakukan dibangsal ALKAUTSAR pada tanggal 6 Maret 2018 Pasien terlihat bedrest dengan posisi miring kiri keadaan umum pasien cukup dengan tingkat kesadaran compos mentis dengan GCS: E4VxM6, pasien mengerti apa yang perawat sampaikan namun pasien tidak dapat merespon secara verbal hanya dengan menggukkan kepala dan mengeluarkan suara “Hemmm” pada saat perawat memberikan instruksi untuk pemeriksaan fisik pasien dapat mengikuti dengan baik dari hasil pemeriksaan fisik pada saat pengkajian didapatkan kekuatan otot , hasil pemeriksaan sistem persyarafan  terlampir, pasien terlihat pelo dan ngiler pada saat posisi miring, mobilisasi pasien hanya sebatas ditempat tidur seperti miring kanan dan kiri, TTV: TD: 150/90 mmHg, RR: 20x/m, S: N:90x/m
Berdasarkan hasil pengkajian mode adaptif terdapat perilaku pasien yang bersifat inefektif, diantaranya adalah: 
  1. Kerusakan mobilitas fisik(00085) berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot. 
  2. Defisit perawatan diri (00108) berhubungan dengan : penurunan kekuatan otot, kerusakan neuromuscular.
  3. Kerusakan komunikasi verbal(00051) berhubungan dengan deficit neurokogis:afasia
  4. Kerusakan fungsi  menelan (00103) berhubungan dengan deficit neurokogis: disfagia
  5. Resiko aspirasi (00039) berhubungan dengan kelemahan pada otot-otot mengunyah dan menelan dan adanya deficit neurologis nervus kranial
  6. Resiko jatuh(00155) berhubungan dengan deficit neurologis, kehilangan sensibilitas
  7. Masalah kolaborasi (a. PK peningkatan ICP & b. PK tekanan darah tinggi (HT)
 DISCUSSION
  
Intracerebral hemorrhage merupakan pendarahan dalam otak yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah dan jumlah kejadiannya sekitar 10% dari semua kejadian stroke. Beberapa referensi menyatakan bahwa prognosis pasien dengan intracerebral hemorrhage jelek, dalam rentang 30 hari setelah stroke tingkat kematian berkisar 40-80% dan 50% dari kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Selain itu stroke dapat mempengaruhi banyak fungsi tubuh diantaranya aktivitas motorik, fungsi intelektual, fungsi menelan, komunikasi dll sehingga menambah beban kepada pasien(Lewis, et al, 2014). Managemen recovering sangat dibutuhhkan dan ini dapat dimulai ditatanan pelayanan serta sudah menjadi perhatian lebih bagi tenaga kesehatan khususnya perawat untuk memberikan perawatan terbaik untuk pasien melalui proses keperawatan yang tepat. 

Proses keperawatan merupakan metode pemecahan masalah khususnya terkait masalah keperawatan. Komponen dari proses keperawatan  tediri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Pada saat melakukan fieldtrip di RS PKU Gamping, rumah sakit tersebut menggunakan format pengkajian cek list yang bertujuan mempermudah perawat dalam melakukan pengkajian, Namun dari hasil dokumentasi pengkajian yang dilakukan perawat diruangan Al kautsar masih ditemukan item-item yang tidak terkaji dan cenderung mengkopi paste hasil pengkajian dari unit gawat darurat, meskipun ini bisa dibenarkan mengingat rentang waktu perawatan di IGD dan di bangsal hanya berselang beberapa jam, namun semestinya ada pengkajian tersendiri yang dilakukan perawat diruangan sebagai bentuk kemandirian perawat. Selain itu pengkajian terhadap stroke secara umum dan diakui di dunia tidak dilakukan seperti National Institutes Of Health Stroke Scale (NIHSS) atau Intracerebral Hemorrhage score (ICH score) yang sangat membantu dalam memprediksi mortalitas dari stroke.

Mahasiswa fieldtrip menggunakan pendekatan teori Calista Roy dalam mengkaji pasien dimana dasar pengaplikasian ini yaitu teori ini menekankan pada kemampuan adaptasi pasien dan individu adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan utuh yang mempunyai mekanisme koping terhadap perubahan lingkungan untuk mencapai kondisi adaptif. Dari hasil pengkajian mahasiswa menemukan ada beberapa masalah diantaranya gangguan mobilitas fisik, self care deficit, gangguan komunikasi, gangguan menelan, resiko jatuh, resiko aspirasi dan ada beberapa masalah kolaboratif diantaranya yaitu pencegahan intracerebral pressure dan hipertensi. Sedangkan masalah keperawatan dan diagnosa yang didokumentasikan oleh perawat adalah hanya satu yaitu gangguan perfusi jaringan cerebral namun dalam praktiknya perawat tidak hanya mengatasi masalah perfusi namun dengan masalah mobilitas fisik dan activity daily living pasien. 

Gangguan mobilitas fisik merupakan salah satu dampak yang nyata bagi pasien. Sebesar 80% pasien stroke mengalami kelemahan pada salah satu sisi tubuhnya atau hemiparese. Kelemahan pada system gerak tubuh pada pasien stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Range of motion (ROM) merupakan latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan pergerakkan sendi secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Memberikan latihan ROM secara dini dapat meningkatkan kekuatan otot karena dapat menstimulasi motor unit sehingga mencegah kecacatan permanen(Setyawan, et al,2017). Setelah pasien stroke sudah stabil selama 12 - 24 jam maka ROM passive dapat dimulai. Latihan ini sangat penting untuk proses recovery pasien(Lewis, et al, 2014). Hasil penelitian survey terkait panduan European Stroke Strategies(ESS) baru – baru ini dari 92 perawat dari 11 negara Eropa, 94% memulai mobilisasi setelah 24 jam ketika pasien sudah stabil(Tulek,et al, 2017). Kami juga menawarkan dua terapi rehabilitasi bagi pasien yaitu pertama, mirror therapy (evidence based) memperbaiki fungsi motorik dan activity daily living dan nyeri, kedua, terapi playing video games seperti Nintendo atau xbox, bermain video games aktif akan membantu pasien mendapatkan kembali kekuatan yang hilang, memperbaikin skill motorik, dan memperbaiki proses pemecahan masalah dan memori jangka pendek dan panjang pasien.

Gangguan afasia dialami pasien stroke hanya sekitar 15% namun sangat mengganggu karena mereka akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan individu lain(Yastroki, 2012). Sehingga peran tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mefasilitasi pasien dalam hal berkomunikasi jika memungkinkan melakukan terapi wicara. Hasil penelitian Meinzer, et al., (2005) menunjukkan bahwa 85% pasien stroke mengalami peningkatan kemampuan bahasa secara signifikan setelah menjalani terapi wicara yang intensif. Salah satu bentuk terapi wicara yang mudah diaplikasikan adalah dengan metode imitasi, di mana setiap pergerakan organ bicara dan suara yang dihasilkan perawat diikuti oleh pasien.

Insidensi untuk disfagia cenderung tinggi yang secara konsisten ditemukan pada pasien-pasien stoke, sebanyak 37%-78% dari kejadian stroke mengalami disfagia. Adanya disfagia pada pasien akan menyebabkan peningkatan resiko aspirasi dan komplikasi pneumoni(Martino,et al, 2005). Terapi menelan dan pencegahan aspirasi menjadi sangat penting dalam proses intervensi keperawatan. Salah satu terapi menelan yang bias dilakukan perawat diruangan adalah extended ward training dengan metode Ice-swab swallowing training dimana latihan ini menggunakan cotton swab secara lemah lembut untuk menstimulasi palatum, lidah dan dinding faring dan kemudian pasien diminta menelan sebanyak lima kali training selama 20 menit. Hasil penelitian Li, et,al (2017) menyatakan bahwa extended ward training secara signifikan memperbaiki dan memulihkan  fungsi menelan pasien stroke dengan disfagia serta mengurangi kejadian yang merugikan akibat kelemahan menelan seperti aspirasi maupun komplikasi pneumoni

Saat mahasiswa melakukan pengkajian,pasien dalam keadaan stabil, sehingga pencegahan peningkatan tekanan intracranial terulang dan hipertensi sangat diperlukan hal ini  pula yang mendasari kelompok memisahkannya sebagai masalah kolaborasi agar nantinya lebih fokus. Dalam masalah kolaborasi ada beberapa intervensi mandiri perawat diantaranya memonitor GCS, memonitor mean arterial pressure (MAP), tinggikan kepala diatas tempat tidur 15-30%,  Hindari maneuver valsalva, bersin yang kuat, fleksi tiba-tiba pada leher dan kepala. ICP dijaga dibawah 20 mmHg, tindakan tinggikan kepala diatas tempat tidur 15-30% mampu menurunkan tekanan intracranial dan tekanan darah harus dikontrol untuk semua pasien ICH dan tujuan jangka panjang untuk menjaga tekanan darah dalam rentang <130 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolic(Kim & Bae,2017; Morgenstern,et al,2010).

Dari segi Implementasi mahasiswa tidak melakukan secara full implementasi hal ini mengingat bahwa mahasiswa hanya sekali bertemu pasien saat pengkajian. Hanya saja ada beberapa item rencana intervensi yang dilakukan saat pertemuan tersebut diantaranya mengajarkan keluarga terkait ROM pasif, meninggikan kepala pasien kurang lebih 15-30%, mendorong keluarga agar selalu berkomunikasi dengan pasien, dan keluarga perlu hati-hati jika memberikan makanan lewat mulut serta melakukan edukasi terkait management stroke. Sedangkan implementasi yang dilakukan perawat belum terstruktur secara dokumentasi dimana hal ini ditemukan tumpang tindih antara diagnose dan implementasi.



CONCLUSION 
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan pengeluaran darah ke parenkim otak, ruang cairan serebrospinal, atau keduanya. Prognosis pasien dengan intracerebral hemorrhage jelek, dalam rentang 30 hari setelah stroke tingkat kematian berkisar 40-80% dan 50% dari kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Selain itu stroke dapat mempengaruhi banyak fungsi tubuh diantaranya aktivitas motorik, fungsi intelektual, fungsi menelan, komunikasi dll.
Teori Calista Roy menekankan pada kemampuan adaptasi pasien dan individu adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan utuh yang mempunyai mekanisme koping terhadap perubahan lingkungan untuk mencapai kondisi adaptif. Teori Roy terdapat beberapa sub item pengkajian fungsi fisiologis (oksigenasi, Nutrisi, Eliminasi, Aktivitas dan istirahat, Proteksi/ perlindungan, The sense / perasaan, Cairan dan elektrolit, Fungsi syaraf / neurologis, Fungsi endokrin); Konsep Diri; fungsi peran; Interdependensi.
Proses keperawatan merupakan metode pemecahan masalah khususnya terkait masalah keperawatan. Komponen dari proses keperawatan  tediri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Masalah yang didapatkan pada pasien Bp. W. diantaranya Gangguan mobilisasi fisik; Defisit perawatan diri; Hambatan komunikasi; Gangguan menelan; Resiko jatuh; Resiko aspirasi; Masalah kolaborasi (Mencegah peningkatan ICP dan Maintainan tekanan darah).

Dapus & laporan Lengkap, please contact me...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

REFLEKSI & LEADERSHIP (Refleksi menggunakan teori Gibbs')

KONSEP MODEL KEPERAWATAN BETTY NEUMAN

LP Acute Lung Oedema (ALO)