HIPER PROSTAT
A. Konsep Dasar Medik.
1. Pengertian.
Hipertrofi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi prostat sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi pada dasarnya adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. ( R. Sjamsuhidajat ; 1997 ).
Pada pasien dengan usia diatas 50 tahun, kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini disebut dengan hiperplasia Prostatik Jinak ( BPH ), pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun. ( Smeltzer, Bare ; 1997 ).
2. Etiologi
Sampai sekarang hal ini belum diketahui secara pasti. Yang sudah jelas diketahui yang berperan adalah adanya dihidrotestosteron ( DHT ), yakni hormon androgen utama dalam prostat, dan faktor usia ( penuaan ). Dengan meningkatnya usia prostat menjadi semakin sensitif terhadap stimulasi androgen disamping kadar estrogen yang relatif meningkat terhadap kadar androgen. Semuanya ini mengakibatkan terjadinya hiperplasia ( pembesaran ) prostat. ( Media AAM, 2002 ; Edisi XI Juni – September ).
3. Anatomi dan Fisiologi.
Prostat adalah kelenjar yang hanya dimiliki oleh kaum pria, letaknya mengelilingi leher kandung kemih dan saluran kemih bawah. Bentuknya seperti buah kenari dan mempunyai ukuran 4 x 3 x 2 cm dengan berat ± 20 gram. Kelenjar ini menghasilkan cairansemen berwarna putih yang akan membawa sperma keluar melalui penis saat ejakulasi. ( Long, Barbara C ; 1996 ).
4. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruktif dan iritasi. Gejala dan tanda obstruktif jalan kemih penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala irirasi disebabkan hipersensisitifitas otot detrusor bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. ( R. Sjamsuhidajat ; 1997 ).
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine didalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urine terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi ingkotinengsia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-uretra hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedam sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia dan hemoroid karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. ( R. Sjamsuhidajat ; 1997 ).
5. Gambaran Klinis.
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencakup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengedam saat berkemih, aliran urine tidak lancar, driblin ( dimana urine tidak menetas setelah berkemih ), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urine akut ( bila lebih dari 60 ml urine tetap dalam kandung kemih setelah berkemih ), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia ( akumulasi produk sampah nitrogen ) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Pemeriksaan fisik yang mencakup pemeriksaan rektal digital dan serangkaian uji diagnostik mungkin dilakukan untuk menentukan tingkat pembesaran prostat, adanya segala perubahan pada dinding kandung kemih, dan efisiensi fungsi ginjal. Pemeriksaan ini dapat mencakup urinalisis dan pemeriksaan urodinamis untuk mengkaji segala obstruksi dalam pola aliran urine. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan. Karena hampir haemoragi merupakan komplikasi utama pasca operatif, semua efek pembekuan harus diatasi. Karena presentase pasien dengan BPH yang mengalami komplikasi jantung dan pernapasan, atau keduanya, karena usia mereka sangat tinggi; maka, fungsi fungsi jantung dan pernapasan juga dikaji. Penyakit lain yang menimbulkan gejala serupa mencakup struktur uretra, kanker prostat, kandung kemih neurogenik, dan batu kandung kemih. ( Smeltser, Bare ; 2002 ).
Tabel 2.1
Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinik.
Derajat | Colok Dubur | Sisa Volume Urina |
I | Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba | < 50 ml |
II | Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai | 50 – 100 ml |
III | Batas atas prostat tidak dapat diraba | > 100 ml |
IV | - | Retensi urine total |
( Sumber : Buku Ajar Ilmu Bedah ; 1997 ).
6. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Urinalisasi warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi); bakteria, sel darah putih, sel darah merah mungkin ada secara mikroskopis.
b. Kultur Urine dapat menunjukkan stapilococcus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, atau escericia coli.
c. Sitologi Urine untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
d. BUN / Creatinim meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
e. Asam Fosfat Serum / Antigen Khusus Prostatik ; peningkatan karena pertumbuhan seluler dan pengaruh hormonal pada kanker prostat ( dapat mengindikasikan metastase tulang ).
f. Sel darah putih mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak imunosupresi.
g. Penentuan kecepatan aliran urine ; mengkaji derajat obstruksi kandung kemih.
h. IVP dengan film pasca berkemih ; menunjukkan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal kandung kemih.
i. Sisteuretrograf berkemih digunakan sebagai IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena ini menggunakan bahan kontras lokal.
j. Sistogram mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tidak berhubungan dengan hipertrofi prostat jinak.
k. Sisteuretroscopy untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih ( kontra indikasi pada adanya infeksi saluran kemih akut sehubungan dengan resiko sepsis gram negatif ).
l. Sistometri mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
m. Ultrasuond trasrectal ; mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi yang berhubungan dengan BPH . ( Doenges, Marilyn, E ; 2000 ).
7. Diagnosa Banding.
Proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi uretra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf ( kandung kemih neurologi ) misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah radikal yang mengorbankan pernapasan didaerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis sedangkan resistensi uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor dileher kandung kemih, batu diuretra atau striktur uretra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistoscopy. ( R. Sjamsuhidajat ; 1997 ).
8. Komplikasi.
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis pembedahan dan mencakup haemoragi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi ( meskipun perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari ). Pada kebanyakan kasus, aktifitas seksual dapat dilakukan kembali dalam enam sampai delapan minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin, ( perubahan anatomi pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrograd ). Vasektomi mungkin dilakukan selama pembedahan untuk mencegah menyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vasdeferens dan kedalam epididimis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ), hampir selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tidak ingin kehilangan aktifitas seksualnya, inplan prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual. ( R. Sjamsulhidajat ; 1997 ).
9. Penatalaksanaan.
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk Rumah Sakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk dimasukkan melalui uretra kedalam kandung kemih. Dalam kasus seperti itu, kabel kecil yang disebut stylet dimasukkan ( oleh ahli urologi ) kedalam kateter untuk mencegah kateter kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat kedalam kantong kemih ( sistostomi suprapubik ) untuk drainase yang kuat.
Meskipun prostatektomi untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplastik sering dilakukan, terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencakup “ Watch-ful Waiting “, insisi prostat transuretra ( TUIP ), dilatasi balon, penyekat alfa dan inhibitor 5 – alfa reduktase ( AHCPR, 1994 ). Watch-ful Waiting adalah pengobatan yang sesuai bagi banyak pasien karena kecenderungan progresi penyakit atau terjadinya koplikasi tidak diketahui. Pasien dipantau secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji diagnostik ( AHCPR, 1994 ). Penyekat resektor alfa – 1 – adrenergik ( misalnya terazosin ) melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat. Meskipun kemanjuran jangka panjang refarat ini tidak diketahui, refarat ini benar dapat menurunkan gejala pada banyak pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang refarat ini terus dilakukan ( AHCPR, 1994 ).
Karena telah diidentifikasi adanya komponen hormonal pada hiperplasia prostatik jinak, salah satu metode pengobatan mencakup manipulasi hormonal dengan frefarat anti androgen seperti finasteride ( proscar ). Pada penelitian klinis, inhibitor 5 – alfa – reduktase seperti finasteride terbukti efektif dalam mencegah perubahan testosteron menjadi hidro testosteron. Menurunnya kadar hidro testosteron menunjukkan supresi aktifitas sel glandular dan penurunan ukuran prostat. Efek samping dari meditasi ini termasuk ginekomasia ( pembesaran payudara ), disfungsi erektil dan wajah kemerahan.
Komentar
Posting Komentar